Jumat, 21 November 2008

KEPRIBADIAN POSITIF . . . KUNCI KEBERHASILAN KEPRIBADIAN ADALAH ROH-NYA PROFESI

"Sikap Profesi" yang telah men-tradisi dalam kepribadian mereka ini ternyata bersesuaian dengan ajaran profesi yang umum dianut oleh setiap organisasi profesi secara universal, dimana terlebih dahulu "dia harus menggarap dirinya sendiri sebagai ‘obyek penelitian' yang pertama-tama harus disorotinya", harus berupaya menyelidiki apa-apa sajakah "faktor-faktor dominan kelemahan dan kekuatan" yang melekat pada batang tubuhnya, dan baru kemudian menanggapi faktor lingkungannya secara "proporsional".

Karenanya surat cinta tersebut telah membangkitkan suasana batin untuk dengan rasa prihatin harus menerima kenyataan profil unjuk kerja Sejawat Saudara Kandung kita yang tidak berkenan mematuhi sumpah Apoteker yang pernah diikrarkannya, dan terlebih lagi nampaknya dengan sadar telah menanggalkan kesetiaannya pada Kode Etik Apoteker yang nota bene Sejawat Saudara Kandung kita sendiri yang telah merancang dan menetapkannya.

Gambaran kenyataan tersebut telah memancing dan merangsang pikiran untuk set back pada pertanyaan filsafati yang bersifat elementer, yang seharusnya sudah terjawab dahulu kala sebelum "mengikrarkan Sumpah Apoteker", yaitu tentang :Siapakah Apoteker; Dimana dia berada dan mau kemana dia; Apa yang dapat dia harapkan dari lingkungannya; Dan apa yang dapat dia berikan kepada lingkungannya ... ?!

Pertanyaan yang sifatnya elementer itu timbul karena adanya perasaan was-was ... jangan-jangan Kakak-kakaknya tidak mengetahui bahwa kedudukannya di Apotek adalah sebagai "Pemangku Profesi", atau mungkin berlagak pilon dan dengan sadar meninggalkan tempat pengabdian profesinya atau bahkan sudah mengambil keputusan untuk menanggalkan predikat profesinya yang telah sekian lama disandangnya ... ?!


Puji syukur Alhamdulillah, pertanyaan tersebut sudah terjawab dengan gamblang dan tegas dengan di-deklarasikan-nya "No Pharmacist...No Service" --- "Tiada Apoteker ...Tidak Ada Pelayanan" yang mewajibkan kepada setiap Apoteker untuk melaksanakan pengabdian profesinya, sebagaimana juga secara universal diwajibkan bagi setiap pemangku profesi lainnya;

"Take It ... or ...Leave It", sehingga tidak pantas lagi bilamana masih ada yang punya perasaan bimbang dan ragu, mengingat deklarasi tersebut sangat dapat dipertanggung jawabkan keabsahan dan kesahihannya baik ditinjau dari aspek moral, hukum dan sosial budaya maupun dari aspek keilmuan.

Deklarasi tersebut secara jitu telah memberi jawaban atas "Permasalahan" gagalnya profesi Apoteker di Apotek mencapai keberhasilan, dan agar deklarasi tersebut dapat tercipta dengan sebaik-baiknya, maka pada gilirannya kita dituntut untuk berusaha menemukan apakah gerangan yang menjadi "Akar" Permasalahannya ... ?!

Untuk melancarkan jalannya proses kegiatan untuk menemukan "Akar" Permasalahannya, maka kita akan mendasarkan diri pada hasil penelitian para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, yang pada umumnya menyatakan bahwa ternjata ada tiga faktor penting yang mendukung terjadinya suatu keberhasilan, yaitu "Pengetahuan", "Ketrampilan" dan "Kepribadian", dimana "faktor Kepribadian" punya peranan yang "sangat menonjol" dalam menentukan suatu keberhasilan.

Oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa faktor "Kepribadian" selaku Pemangku Profesi" adalah yang menjadi "Akar" Permasalahan kegagalan profesi Apoteker di tempat pengabdiannya di Apotek ... Dan mengingat istilah kepribadian merupakan akar permasalahan yang menjadi topik bahasan, maka terlebih dahulu kita harus mempunyai gambaran yang jelas tentang apa yang disebut "Kepribadian"

Dalam upaya untuk menemukan gambaran yang jelas untuk memahami istilah "Kepribadian", maka kita juga akan mendasarkan diri pada hasil penelitian di bidang Sosekbud selama 50 tahun di Amerika yang dilakukan oleh Charles Schreiber, seorang arsitek, bersama-sama dengan Dr.Napolion Hill, seorang ilmuwan ilmu sosial, yang menyatakan bahwa :

Ternyata hanya 2 % dari penduduk Amerika yang benar-benar telah berhasil mencapai puncak kemajuan dalam kehidupannya, yang umumnya justru tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi, hanya sebagian kecil saja dari mereka yang merupakan alumni pendidikan tinggi, dan mereka tergolong orang-orang yang mempunyai "Kepribadian Positif" atau "Kepribadian Unggul" yang menjadi "The Ruling Class" dalam masyarakatnya dimana mereka hidup.

Adapun yang "cukup berhasil" mencapai kemajuan, yaitu lapisan masyarakat "menengah atas" yang mutu kehidupannya berkecukupan, banyaknya 10 % ; Yang "sekedar berhasil", yaitu lapisan "masyarakat menengah bawah" yang mutu kehidupannya pas-pasan, banyaknya 50 % ; Sedangkan sisanya yang "tidak berhasil", yaitu lapisan masyarakat miskin, banyaknya 38 %.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut Charles Schreiber dan Napolion Hill menyusun hipotesa kuantitatif yang menjelaskan patokan duga tentang bagaimana peristiwa atau kenyataan keberhasilan usaha di bidang ekonomi itu bisa terjadi disertai pengukuran yang logis, yang selanjutnya menyatakan bahwa :

"KEBERHASILAN" seseorang atau suatu bangsa di bidang ekonomi ditentukan oleh "Hasil Interaksi" antara "OTAK" yang memberikan kontribusi 15 % - - -dan - - - "KEPRIBADIAN" yang memberikan kontribusi 85 % dalam "mewujudkan suatu keberhasilan".

Yang dimaksud dengan "OTAK" ialah pengetahuan (knowledge) yang diperolehnya melalui "continuing education", dan yang dimaksud dengan "KEPRIBADIAN" atau juga disebut dengan istilah "WATAK" ialah pengalaman praktek yang diperolehnya melalui "continuing improvement".

Istilah "KEPRIBADIAN" itu sendiri mengandung komponen "bio aktif" yang disebut dengan istilah "Kerajinan Berdaya Upaya" yang kontribusinya 25 %, dan komponen "Sikap Mental/ Kesiapan Mental/Kewaspadaan Mental" yang kontribusinya 60 %. dalam mewujudkan suatu keberhasilan..

Sehubungan dengan hal tersebut maka secara singkat dapat dirumuskan bahwa "Tahu" dan "Berbuat" akan menghasilkan "keberhasilan" yang menandakan telah mentradisinya "Kepribadian Positif" atau "Kepribadian Unggul" merupakan "Akar" Permasalahan yang juga disebut "Kunci Keberhasilan" yang memberikan sumbangan yang sangat dominan pada seseorang atau masyarakat tertentu dalam upaya mencapai puncak keberhasilan, yang tercermin pada "sikap dan perilaku" yang bersangkutan, dan yang membedakannya dari orang lain atau masyarakat lainnya yang tidak berhasil mencapai keberhasilan.

Hipotesa Charles Schreiber tersebut telah dipergunakan sebagai dasar pemikiran dan kebijakan pembinaan dan pengembangan SDM oleh Perusahaan Multi Nasional IBM dan juga oleh beberapa kalangan intelektual di Indonesia, a.l..: ... Prof.Dr.Daoed Joesoef,.mantan.Menteri P&K, yang menyatakan bahwa "Entrepreneurship adalah suatu ‘profesi' yang khas yang merupakan gabungan/interaksi antara pengetahuan (knowledge) dan kiat (art)".

Pemahaman serupa juga dianut oleh Dr.Suparman Sumahamijaya M.A.Sc.AK. Guru Besar Fakultas Ekonomi UNPAD. Ketua Lembaga Bina Wiraswasta, dan demikian juga Drs.Santoso Harsokusumo MBA, Program Pendidikan Kewiraswastaan, yang. menyatakan bahwa "Setiap kemajuan ditentukan oleh kesediaan berjerih payah ( 25 %), pendidikan sekolah ( 15%) dan pengembangan kepribadian ( 60 %)".

Selanjutnya mengingat dalam ilmu sosial banyak istilah yang sama dipergunakan untuk maksud yang berbeda, ataupun istilah yang berbeda dipergunakan untuk maksud yang sama, maka hal ini menunjukkan bahwa sulit untuk memberikan satu rumusan yang dapat memuaskan semua orang; karenanya dipandang perlu memberikan penafsiran mengenai istilah kepribadian dalam rangka diperolehnya kesefahaman yang diharapkan akan dapat memberikan sumbangannya dalam pembinaan dan pengembangan profesi Apoteker.

PEMAHAMAN KEPRIBADIAN

Kepribadian atau Watak adalah hasil interaksi antara Kerajinan Berdaya Upaya (Kesediaan Berjerih Payah) yang memberikan kontribusi [25 %] + Sikap Mental [Kesiapan Mental / Kewaspadaan Mental] yang memberikan kontribusi [60 %] dalam mewujudkan suatu keberhasilan.

PEMAHAMAN KERAJINAN BERDAYA UPAYA

Menurut hasil penelitian menyatakan bahwa orang yang paling berhasil the ruling class di Amerika, pada umumnya mereka melakukan kegiatan berpikir, bekerja dan berkomunikasi yang bertalian dengan urusan bisnisnya, rata-rata 15 jam setiap harinya, dimana masalah utama yang dihadapinya adalah sangat terbatasnya sumber daya waktu

Umur manusia sangat terbatas dan waktu yang dimiliki manusia juga sangat terbatas, karena itu mereka perlu memanfaatkan setiap waktu dan kesempatan secara efisien, efektif dan produktif, dengan cara membudayakan "Continual Education", yang merupakan satu-satunya jalan untuk menabung sumber daya waktu (mendepositokan), dimana pengetahuan yang dikumpulkan selama menuntut ilmu sewaktu-waktu dapat dimunculkan kembali pada saat diperlukan, khususnya akan memberikan nilai guna dalam melakukan praktek eksperimen "continual improvement".

Proses kerajinan berdaya upaya continual education dan continual improvement merupakan salah satu cara yang efektif untuk menyegarkan "Tenaga Dalam" ("Daya Penggerak Dalam Diri") dalam rangka revitalisasi Sikap Mental (Kesiapan Mental/Kewaspadaan Mental) yang akan memelihara dan meningkatkan kemampuannya melihat "momentum" ("peluang" / "sandi-sandi perubahan lingkungan") dimana dia "harus bergegas menyergap momentum" tersebut, yang kemudian dikombinasikannya dengan keahlian dan kesediaan berjerih payah yang membuat keberhasilan.

Yang disebut momentum biasanya luput dari perhatian kebanyakan orang, karena tidak dapat dilihat secara "kasat mata", tapi hanya dapat dilihat oleh "mata hati" orang yang memiliki kewaspadaan mental, dan kalau "tidak bergegas", maka akan ketinggalan dan kehilangan peluang dan akan kehilangan saat-saat terbaiknya untuk mencapai keberhasilan.

Berkat kesediaan berjerih payah yang dilakukannya secara terus menerus, maka ilmu pengetahuan dan pengalamannya yang telah terhimpun akan "meng-kristal" berupa "core competence" yang memberi "makna" dan "nilai-nilai" yang mempertajam kewaspadaan mentalnya yang akan memandu dalam membuat disain dan implementasinya secara nyata.

PEMAHAMAN SIKAP MENTAL/KESIAPAN MENTAL/KEWASPADAAN MENTAL

Sikap Mental adalah habit of thoughts (kebiasaan berpikir)

Tuhan YME telah menganugerahkan dalam diri setiap oraang sesuatu yang disebut "mekanik naluri" yang disebut "gairah"; Gairah adalah keinginan, hasrat atau keberanian yang kuat yang memancing "rasa ingin tahu" yang menjadi "dasar kepribadian" orang yang akan menggerakkan pemiliknya ke arah sukses. Gairah adalah "pokok pangkal dari semua kemajuan". Dengan gairah tercapai hasil gemilang, tanpa gairah hanya dapat alasan untuk membenarkan kegagalan.

Bilamana dalam batin orang "gairah"-nya dipertemukan dengan "kepercayaan" maka akan menimbulkan apa yang disebut "Tenaga Dalam" atau "Daya Penggerak Dalam Diri" yang tiada lain adalah suatu "kekuatan yang dahsyat" yang akan membangkitkan dinamika proses interakasi antara "pengetahuan" yang berdomisili dalam "Otak" dan "kepercayaan" yang berdomisili dalam "Kata Hati" yang akan membangkitkan motivasi, disiplin dan etos kerja ("fanatisme") yang berkobar-kobar untuk bekerja keras dalam rangka mengejar keberhasilan.

Kepercayaan adalah keyakinan terhadap tata nilai baik (positif) dan lawannya buruk (negatif) sebagaimana terkandung dalam ajaran agama, ideologi, idealisme, altruisme yang merupakan referensi yang membimbing orang untuk memilih alternatif tindakan yang akan dilakukannya.

"Cara berpikir" dan "cara bertindak" yang dilakukan berulang-ulang maka menumpuk menjadi "kebiasaan berpikir" dan "kebiasaan bertindak" ; Dan selanjutnya tumpukan kebiasaan yang menahun akan membentuk "Kepribadian"("Watak"), dan seterusnya akan membentuk "Tradisi" dan pada akhirnya akan membentuk "Kebudayaan".

Kepribadian dapat melahirkan "kepribadian positif" yang akan membangkitkan "kekuasaan positf" ataupun "kepribadian negatif" yang dapat membangkitkan "kekuasaan negatif", oleh karenanya yang disebut kepribadian adalah identik dengan kekuasaan ; Dimana kekuasaan (power) apapun dapat digunakan secara positif atau negatif (power tends to corrupt).

Kepribadian atau watak adalah kebiasaan-kebiasaan yang telah menahun dan banyak orang beranggapan bahwa kepribadian merupakan pembawaan yang turun-temurun, pendapat ini ada benarnya, akan tetapi tidak diturunkan melalui darah, melainkan melalui keteladanan orang tua, masyarakat atau bangsa dalam cara berpikir, cara bersikap dan cara berbuat .

Kebiasaan cara berpikir negatif menimbulkan sikap dan tindakan negatif, menimbulkan kehidupan miskin, jadi kehidupan miskin adalah sebagai akibat cara berpikir miskin, oleh karena itu untuk merubah orang keluar dari kemiskinan hanyalah melalui cara merubah kebiasaan cara berpikirnya dengan jalan pendidikan yang berulang-ulang dan diparaktekkan.secara nyata.

Cara berpikir dan cara bersikap seseorang dalam menghadapi tekanan situasi sangat tergantung pada kepribadiannya dalam menanggapi situasi yang dihadapi ; Orang yang punya "Kepribadian Positif" akan menerimanya sebagai tantangan dan akan bertindak sesuai tantangan yang dihadapinya, karena itu dia akan menguasainya dan sekaligus memperkuat kemampuannya untuk mengusir tekanan-tekanan berikutnya, yang akan menjadi modal dasar dan landasan untuk menumbuh kembangkan "Kewaspadaan Mental"-nya

Hasil-hasil yang unggul timbul dari kebiasaan-kebiasaan dan bersandarkan pada perbuatan-perbuatan yang biasa, tapi dilakukan dengan cara luar biasa, yang merupakan buah yang dipetik dari sikap, cara berpikir dan cara berbuat yang telah melembaga yang mengabdikan sepenuhnya pada tujuan cita-cita ; Oleh karena itu, maka kebiasaan memegang peranan untuk mencapai keberhasilan dimana sejarah keberhasilan suatu bangsa tiada lain adalah tumpukan kebiasaan unggul yang mentradisi dan membudaya

Baca Selengkapnya »»

Menjadi Farmasis Profetik

Dalam profesi farmasi, dikenal istilah seven star pharmacist, sebuah pedoman karakter seorang farmasis dalam menjalankan profesinya, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur profesi kefarmasian. Namun kondisi praktek profesi farmasi di lapangan memperlihatkan fenomena yang berbeda. Salah satu penyebabnya mungkin dikarenakan krisis keteladanan. Tanpa menafikan bertaburannya profesi farmasi yang berdedikasi pada tugasnya, adalah sebuah kenyataan bahwa krisis keteladanan adalah salah satu krisis yang tengah menimpa. Kita sangat membutuhkan seorang figur teladan untuk diikuti.

Seorang penulis terkenal, Michael H Hart, menempatkan Nabi Muhammad pada posisi pertama dalam daftar tokoh-tokoh berpengaruh sepanjang sejarah. Maka seorang farmasis sebenarnya dapat pula mengambil pelajaran dari keteladanan nabi. Menjadi seorang farmasis profetik (prophet = nabi), farmasis yang meneladani nabi dalam menjalankan profesinya. Ketika dikaitkan dengan pedoman seven star pharmacist, maka keteladanan nabi adalah mata air keluhuran yang menyimpan pelajaran-pelajaran yang dapat digali.

1. Leader
Farmasis harus memiliki karakter seorang pemimpin.
Kepemimpinan sangat berkaitan dengan kesadaran akan arti diri, dan penetapan tujuan bersama. Bagaimana membawa kelompok yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama.
Nabi Muhammad adalah teladan. Dalam bimbingan nabi, bangsa Arab mencapai posisi yang tidak pernah dicapai sebelumnya. Tekad yang kuat dalam mencapai tujuan, dibingkai langkah-langkah strategis, membimbing ummat menuju kecemerlangan dalam mencapai tujuan. Keteguhan tekad dalam mencapai tujuan. Karakter itu yang mutlak harus dimiliki seorang pemimpin.

2. Decision Maker
Farmasis harus dapat mengambil keputusan dengan bijak, tepat dan cepat.
Pengambilan keputusan memerlukan kemampuan untuk memahami persoalan dengan utuh, menentukan keputusan di antara pilihan-pilihan, serta ketegasan setelah menetapkan keputusan. Di tengah-tengah situasi genting, dengan banyak alternatif, farmasis harus dapat mengambil keputusan dengan baik.
Nabi Muhammad memberi contoh. Keputusan beliau menyelesaikan sengketa batu Kabah membawa kepuasan bagi semua pihak. Sebuah keputusan cerdas yang membawa semangat win-win solution.

3. Communicator
Farmasis harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik.
Komunikasi yang baik harus mencakup perkataan yang jelas dan ringkas. Memberikan konsultasi, informasi dan edukasi dengan cara yang bijak. Salah satu kemampuan komunikasi yang penting adalah kemampuan mendengar. Mendengar untuk mengerti, mengerti kondisi pasien sepenuhnya.
Nabi Muhammad memberi contoh. Ucapan-ucapan beliau adalah ucapan yang ringkas, tetapi tetap jelas. Beliau sering mengulangi perkataannya hingga tiga kali untuk memastikan bahwa pendengarnya benar-benar memahami apa yang beliau sampaikan.

4. Teacher
Farmasis harus mendidik calon farmasis atau farmasis muda.
Pembinaan pada penerus harus terus dilakukan. Regenerasi profesi farmasi adalah sesuatu yang harus berjalan. Bagaimana membimbing dan mengarahkan calon farmasis dalam mengembangkan diri.
Nabi Muhammad merupakan teladan. Ia adalah seorang pendidik yang mampu mengelaborasi potensi-potensi para sahabat menjadi prestasi-prestasi puncak. Mengembangkan potensi generasi muda sesuai bakat dan kecenderungan masing-masing.

5. Long Life Learner
Farmasis harus senantiasa mengembangkan sikap mencari ilmu sepanjang hayat.
Mengikuti perkembangan ilmu kefarmasian. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Semangat untuk terus belajar seumur hidup.
Nabi Muhammad sangat menekankan hal ini. Beliau senantiasa menganjurkan pengikutnya untuk senantiasa giat mencari ilmu. Menyemangati bahwa orang-orang berilmu ditinggikan derajatnya. Bahwa ilmu yang bermanfaat adalah aset yang abadi.

6. Care Giver
Farmasis harus memberikan pelayanan dan perhatian kepada sesama.
Mengembangkan sikap altruis dalam menjalankan profesi. Meningkatkan Quality of Life masyarakat. Mengedepankan aspek sosial daripada aspek bisnis dalam berprofesi.
Nabi Muhammad memberi contoh. Perhatian dan kasih sayangnya begitu melimpah. Bagaimana tidak, risalah yang dibawanya adalah untuk seluruh alam, bukan cuma manusia, tapi hewan dan tumbuhan dan yang lainnya. Hari-harinya dipenuhi kerja keras meringankan beban sesama.

7. Manager
Farmasis harus memiliki kemampuan manajerial yang baik dalam mengelola beragam sumber daya yang tersedia.
Bagaimana menempatkan seseorang pada posisi yang sesuai dengan potensinya. Bagaimana mengatur perencanaan pengadaan inventaris. Bagaimana mengatur skala prioritas dalam pengaturan jadwal kegiatan.
Nabi Muhammad menunjukkan teladan. Beliau menempatkan orang-orang yang tepat pada posisi yang sesuai. Dalam kesehariannya yang dipenuhi berbagai agenda, beliau masih sempat bercengkerama dengan keluarganya, seperti berlomba lari suatu ketika dengan istrinya. Ini tentu menunjukkan bahwa manajemen waktu nabi telah menempatkan semua kegiatan pada skala prioritas yang tepat sehingga semua dapat terlaksana tanpa ada yang dikorbankan.
Menjadi farmasis profetik, meneladani Nabi Muhammad dalam menerapkan pedoman seven star pharmacist. Sehingga farmasis menjadi profesi yang dapat memberi manfaat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin), membawa dunia ini ke arah yang lebih baik. Semoga...

sumber : isfinasional

Baca Selengkapnya »»

PERANAN APOTEKER MENUJU INDONESIA SEHAT 2010

SEHAT = adalah kondisi badan atau jiwa yang bebas dari penyakit .

Sehat merupakan idaman setiap orang dan merupakan hak azasi setiap manusia.

INDONESIA SEHAT 2010 = adalah v i s i dari Departemen Kesehatan R.I yang ditetapkan pada tahun 1999, merupakan gambaran masyarakat Indonesia pada tahun 2010 yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu , adil , dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Untuk mencapai visi dilakukan gerakan yang namanya m i s s i , yaitu :
1. Menggerakkan pembangunan yang berwawasan kesehatan.
2. Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.
3. Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau.
4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya.

Untuk mencapai visi dan melaksanakan misi dirumuskan :
a. SASARAN.
b. STRATEGI.
c. PROGRAM.
d. INDIKATOR.

a. SASARAN.
Sasaran pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 adalah :
1. Perilaku hidup sehat.
2. Lingkungan sehat.
3. Upaya kesehatan.
4. Manajemen Pembangunan Kesehatan .
5. Derajat Kesehatan.

Diantara sasaran tersebut yang sangat relevan dengan peran farmasis adalah Upaya
Kesehatan dan Manajemen Pembangunan Kesehatan..

Upaya Kesehatan
Meningkatnya secara bermakna :
1. Sarana kesehatan yang bermutu.
2. Jangkauan dan cakupan pelayanan kesehatan.
3. Penggunaan obat generik dalam pelayanan kesehatan.
4. Penggunaan obat secara rasional.
5. Pemanfaatan pelayanan promotif dan preventif.
6. Biaya kesehatan yang dikelola secara efisien.
7. Ketersediaan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan.

Manajemen Pembangunan Kesehatan
Meningkatnya secara bermakna :
1. Sistem informasi pembangunan kesehatan.
2. Kemampuan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi pembangunan kesehatan.
3. Kepemimpinan dan Manajemen Kesehatan.
4. Peraturan perundang-undangan yang mendukung pembangunan kesehatan.
5. Kerjasama lintas program dan sektor.

Pada Manajemen Pembangunan Kesehatan peran apoteker lebih berhubungan dengan Kepemimpinan dan Manajemen Kesehatan serta Peraturan perundang-undangan yang mendukung pembangunan kesehatan..

Siapapun dan dimanapun orang / pimpinan organisasi profesi berbicara dalam masalah kefarmasian , intinya tidak lain adalah pelaksanaan " Pharmaceutical Care " ( P.C. )
P.C. ada yang mengartikan " Asuhan Kefarmasian " , ada juga " Perhatian Kefarmasian " atau "Kepedulian Kefarmasian ".
Pharmaceutical Care adalah tanggung jawab farmako-terapi dari seorang apoteker untuk mencapai dampak tertentu dalam meningkatkan kualitas hidup pasien .
P.C. di implementasikan ( dilaksanakan ) dengan " Good Pharmacy Practice "( Cara Praktik di Apotik yang Baik ) ( = CPAB ).

Dalam pelaksanaan CPAB diperlukan :

1. Keterlibatan langsung farmasis ( apoteker ) dalam segala segi pelayanan kebutuhan pasien (obat-obatan dan alat kesehatan ) .
2. Aktifitas utama apotik adalah :
= menyalurkan obat-obatan dan alat kesehatan dengan mutu dan keabsahannya yang terjamin ;
= memberikan informasi obat yang tepat ;
= membantu monitoring efek dari obat / alat kesehatan tersebut.
3. Kontribusi apoteker yang menyeluruh dalam hal penggunaan obat yang tepat dan peresepan yang rasional serta ekonomis .
4. Setiap orang / petugas di apotik sudah diberi tahu bahwa tugas setiap pelayanan apotik sangat penting dan saling berhubungan satu dengan lainnya.

Untuk itu diperlukan pelayanan yang professional yaitu pelayanan yang :
- Dilaksanakan dengan kemampuan dan disiplin yang tinggi .
- Mengamalkan kode etik dan standar profesi.
- Taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Untuk mencapai pelayanan kesehatan yang bermutu , adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setingi-tingginya ( Mencapai Indonesia Sehat 2010 ) , semua apoteker dimanapun dia bertugas harus memiliki perhatian utama ( focus ) pada kesejahteraan / keselamatan pasien dan anggota masyarakat lainnya antara lain :

A. Kepada apoteker yang bekerja sebagai Apoteker Pengelola Apotik ( APA ) difokuskan perannya kepada :
a. Menyediakan , menyimpan dan menyerahkan sediaan farmasi yang mutu dan keabsahannya terjamin.
b. Melayani dan mengawasi peracikan dan penyerahan obat.
c. Memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat , baik dengan resep dokter maupun penjualan bebas.
d. Melaksanakan semua peraturan kefarmasian tentang apotik.
e. Tidak terlibat konspirasi penjualan obat keras ke dokter praktek, toko obat dan sarana lainnya yang tidak berhak.
f. Melakukan kerjasama yang baik dengan apotik sekitarnya dalam rangka meningkatkan pelayanan pada pasien.

B. Kepada apoteker yang bekerja di industri farmasi / marketing pabrik farmasi diminta perannya dalam :
a. Mentaati peraturan dan etika tentang penyaluran sediaan farmasi utamanya obat keras.
b. Tidak membuat kebijakan marketing yang merugikan pasien ( konsumen ) dengan membuat pejanjian dengan tenaga kesehatan tertentu yang meningkatkan harga obat yang dipikul oleh pasien (konsumen ).

C. Kepada apoteker pada Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota / Sudin YanKes Kotamadya diharapkan perannya :
a. Meningkatkan pelaksanaan tugas pengaturan dan pembinaan pada sarana kefarmasian.
b. Menindak-lanjuti secara adil pelanggaran yang dilakukan oleh toko obat, apotik dan praktek profesi lainnya yang menyimpang dari peraturan yang berlaku.

D. Kepada apoteker di Badan POM atau Balai POM di provinsi diharapkan perannya
a. Melakukan pemeriksaan atas penyaluran obat-obatan dari industri dan pedagang besar farmasi, jika ditemukan penyimpangan segera melaporkan nya pada Menteri Kesehatan untuk ditindak-lanjuti.
b. Melakukan pembinaan dan peningkatan pada sarana pengawasan dan pengujian obat di daerah baik kualitatif maupun kuantitatif.
c. Meningkatkan pengawasan peredaran sediaan farmasi yang palsu atau tidak absah..


E. Kepada apoteker yang berada di Departemen Kesehatan / Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan diharapkan perannya :
a. Menyiapkan peraturan yang mengharuskan keberadaan apoteker di apotik selama ada pelayanan kefarmasian demi meningkatkan pelayanan kepada pasien / masyarakat.
b. Menyiapkan peraturan yang mengharuskan adanya minimal 2 apoteker jika apotik melayani masyarakat lebih dari 8 jam dan minimal 3 apoteker jika apotik melayani masyarakat 24 jam.
c. Menyiapkan sanksi administratif pada sarana industri farmasi yang melakukan pelanggaran peraturan Menteri Kesehatan atas laporan Badan POM / Balai POM.
d. Menyusun dan mengusulkan adanya Badan yang mengevaluasi dan mengendalikan harga obat nama dagang yang beredar di Indonesia demi melindungi masyarakat banyak dan agar Indonesia ini tidak lebih liberal dari negara liberal.
e. Menyiapkan dan menegaskan kembali peraturan mengenai pemisahan yang jelas tugas masing-masing profesi dalam lingkungan kesehatan.

Jika semua apoteker berperan untuk meningkatkan pelayanannya dan mempunyai niat baik untuk memperbaiki situasi kefarmasian , maka harkat dan martabat apoteker bisa diraih kembali.
PERAN APOTEKER ======> PRAKTEK FARMASI


====> PRAKTEK PROFESI APOTEKER ====> KEMANDIRIAN

====> dibutuhkan 3 ASPEK yang PERLU DIPERBAIKI :

1. ASPEK STRUKTURAL = STRUKTUR ( perapotikan)
(Pemerintah,organisasi )
= TUGAS, WEWENANG,
TG.JAWAB. ( Dr , drg, apt ,
bidan , perawat, toko obat )

= BIN , WAS , DAL .
( apa ,siapa )

2. ASPEK INSTRUMENTAL = Per - UU - an .
( Pemerintah) (penyimpangan)
=> APOTEK
(perjanjian kerja)
=> DISTRIBUSI OBAT.

=> HARGA ---> OND / Komisi R/,
Dispensing,
Obat Selundupan,
---> OGB

3. ASPEK KULTURAL => MENTAL
( Organisasi ISFI ) (4 dekade terlena)
=> ETIKA

Saat ini => MINIMAL TIAP HARI DATANG KE APOTIK
Selanjutnya => BERADA DI APOTIK SAAT APOTIK BUKA, AKTIF MELAKUKAN PELAYANAN.

Baca Selengkapnya »»

PERKEMBANGAN PRAKTEK KEFARMASIAN

A. PENDAHULUAN

Sesudah lebih dari 4 dekade telah terjadi kecenderungan perubahan pekerjaan kefarmasian di apotik dari fokus semula penyaluran obat-obatan kearah focus yang lebih terarah pada kepedulian terhadap pasien. Peran apoteker lambat laun berubah dari peracik obat (compounder) dan suplair sediaan farmasi kearah pemberi pelayanan dan informasi dan akhirnya berubah lagi sebagai pemberi kepedulian pada pasien. Disamping itu ditambah lagi tugas seorang apoteker adalah memberikan obat yang layak , lebih efektif dan seaman mungkin serta memuaskan pasien. Dengan mengambil tanggung jawab langsung pada kebutuhan obat pasien individual , apoteker dapat memberikan kontribusi yang berdampak pada pengobatan serta kualitas hidup pasien. Pendekatan cara ini disebut " pharmaceutical care " (= asuhan kefarmasian ; peduli kefarmasian ).

Pharmaceutical care (p.c) adalah tanggung jawab pemberi pelayanan obat sampai pada dampak yang diharapkan yaitu meningkatnya kualitas hidup pasien. ( Hepler dan Strand, 1990 ).
Seteleh diadopsi oleh International Pharmaceutical Federation (= FIP = ISFI nya dunia ) pada tahun 1998, definisi itu ditambah dengan timbulnya dampak yang jelas atau menjaga kualitas hidup pasien. Jadi menurut definisi FIP, pharmaceutical care adalah tanggung jawab pemberi pelayanan obat sampai timbulnya dampak yang jelas atau terjaganya kualitas hidup pasien.
Pekerjaan pharmaceutical care adalah baru, berlawanan dengan pekerjaan apoteker beberapa tahun yang lalu.Banyak apoteker yang belum mau menerima tanggung jawab ini
. Dasar pengetahuan dari sarjana farmasi sedang berubah. Ketika seorang sarjana farmasi mulai bekerja setelah lulus , pekerjaan kefarmasian sudah berubah dan merupakan pengetahuan baru. Meskipun demikian seorang apoteker harus dapat bekerja sesuai dengan pendidikannya . Walaupun apoteker dapat memberikan kemampuannya yang tepat pada praktek kefarmasian, mereka tetap memerlukan pengetahuan dan ketrampilan pada peran yang akan datang. Karena itu diperlukan pendidikan berkelanjutan ( life-long learner ) salah satu peran apoteker yang baru. Lebih jelasnya lagi bahwa farmasi / apotik mempunyai peran penting dalam proses reformasi sektor kesehatan. Dengan demikian peran apoteker perlu ditetapkan kembali (redefinisi) dan diarahkan kembali (reorientasi).
Para apoteker harus mempunyai kemampuan untuk meningkatkan dampak pengobatan dan meningkatkan kualitas hidup pasien dari sumber daya yang tersedia dan posisi mereka sendiri harus terdepan dalam system pelayanan kesehatan.
Perubahan kearah pharmaceutical care adalah faktor yang kritis dalam proses ini. Meskipun upaya untuk berkomunikasi dengan memberikan informasi yang benar pada pasien merupakan faktor penting dalam membantu pengobatan sendiri, apoteker juga harus memberikan kontribusi yang vital melalui manajemen terapi obat dan penyediaan obat tanpa resep ataupun terapi alternatif.

Setelah lebih 40 tahun peran apoteker telah berubah dari penggerus dan peracik obat menjadi manajer terapi obat. Tanggung jawab ini lama kelamaan meningkat lagi dalam memberi dan menggunakan obat, kualitas obat harus di seleksi, disediakan, disimpan di distribusikan, di racik dan di serahkan untuk meningkatkan kesehatan pasien dan tidak menyakitinya.
Jangkauan pekerjaan apoteker di apotik saat ini , dirancang berpusat pada pasien dengan semua fungsi-fungsi pengamatan, konseling, pemberian informasi dan monitoring terapi obat sebaik aspek teknis seperti pelayanan farmasi dan pendistribusian obat.
Bab ini menguraikan peran baru, ketrampilan dan sikap dimana apoteker membutuhkan sesuatu bila mereka menjadi anggota dari tim kesehatan multi disiplin, sebagai keuntungan tambahan yang dapat membawa mereka pada keprofesionalan.

B. APAKAH KESEHATAN ITU ?

Pekerjaan kefarmasian tidak dilakukan dalam ruang hampa tapi dalam lingkungan kesehatan. Kesehatan adalah suatu konsep luas dimana dapat menjadi suatu kisaran pengertian yang lebar dari teknis sampai ke moral dan filosofi.
Definisi Kesehatan menurut konsep Konstitusi WHO tahun 1946 adalah keadaan sempurna fisik, mental dan sosial, tidak adanya penyakit atau kelemahan. Setelah beberapa tahun WHO mendiskusikan lagi dan mendefinisikan kesehatan sbb :
Keadaan dimana seorang individu atau kelompok dapat merealisasikan aspirasinya dengan kebutuhan yang layak dan dapat melakukan perubahan / mengatasi kesukaran dari lingkungan. Kesehatan merupakan suatu sumber daya yang penting dalam kehidupan sehari-hari, bukan objek kehidupan dan merupakan suatu konsep positif yang mengutamakan sumber daya personal dan sosial.

C. PROFESI FARMASI DIPERTANYAKAN

Terapi obat-obatan sangat sering digunakan dalam bentuk intervensi pengobatan dalam rangkaian praktek kesehatan. Dia tumbuh secara cepat ketika rata-rata penduduk meningkat umurnya, prevalensi penyakit khronis meningkat, infeksi penyakit baru tumbuh dan kisaran pengobatan yang efektif menjadi berkembang. Tambahan lagi sangat banyak saat ini dipasarkan apa yang dinamakan obat gaya hidup ( life-style medicine ) seperti untuk pengobatan penyakit kebotakan , pengobatan kulit kering dan mengkerut serta disfungsi ereksi.
Meningkatnya jumlah dan jenis obat-obatan yang dapat diperoleh dalam perdagangan sekarang ini , lebih banyak ditangani oleh orang yang bukan tenaga kefarmasian . Sebaliknya peracikan obat telah digantikan oleh pabrik farmasi pada hampir semua formulasi. Obat-obatan pun dapat diperoleh di super market, di toko-toko obat dan kios-kios di pasar. Juga obat-obatan dapat pula diperoleh dengan order via pos, tilpon atau internet atau dijual oleh dokter praktek dan diracik secara mesin racikan komputer.
Dibawah lingkungan seperti ini tepat dipertanyakan hal-hal berikut ini :
1. Apakah masih diperlukan apoteker itu ?
2. Berapakah nilai pelayanan farmasi itu ?
Profesi adalah untuk melayani masyarakat.
Seorang tenaga profesi adalah seorang pelayan masyarakat. Karena itu misi profesi apoteker harus dialamatkan pada kebutuhan masyarakat dan pasien individual.
Pada suatu waktu, penetapan terapi obat dan pelaksanaannya begitu sederhana, aman dan tidak mahal. Dokter meresepkan dan apoteker meracik obat. Meskipun demikian ada bukti dasar bahwa metoda peresepan dan peracikan demikian tidak selalu aman dan efektif akibat terjadi kesalahan dan obat. Di negara-negara maju 4 - 10 % dari semua pasien rawat inap timbul efek samping, terutama di sebabkan penggunaan terapi banyak obat (multiple drug) pada pasien orang tua dan pasien penyakit khronis.
FIP telah menerbitkan Standar Profesional dan Medication Error dalam peresepan obat dan membuat definisi tentang Medication Error
Pekerjaan Profesional yang bertanggung jawab adalah issu utama dalam kepedulian kesehatan ( health care ). Dalam hubungan tradisional antara dokter sebagai penulis resep dan apoteker sebagai peracik obat, penulis resep bertanggung jawab atas hasil farmakoterapinya. Situasi itu sedang berubah dengan cepat dalam sistem kesehatan. Praktek pelayanan farmasi sedang berubah dimana apoteker bertanggung jawab juga pada pasien dengan kepeduliannya dan masyarakat tidak hanya menerima perlakuan tapi juga memegang profesi ini.
Pada waktu yang sama, profesi lain seperti dokter, perawat, bidan, asisten apoteker juga berupaya dengan kompetensinya dan merasa sebagai pemimpin dalam pengobatan.
Mahasiswa Farmasi harus di didik dalam memegang tanggung jawab mengelola terapi obat sehingga mereka dapat memelihara dan mengembangkan posisinya dalam dunia kesehatan dan untuk itu harus ada kompensasi atas peran mereka dalam asuhan kefarmasian ( pharmaceutical care ).
Dispensing harus menjadi tanggung jawab apoteker. Meskipun sedikit apoteker yang terlibat langsung dalam dispensing obat-obatan, tapi pada daerah pedesaan apoteker harus memimpin proses dispensing dan bertanggung jawab atas kualitas obat dan dampak pengobatan.
serta merekomendasikan pada anggotanya untuk meningkatkan keamanan dalam pemesanan, pembuatan, peracikan, pelabelan, penyerahan dan penggunaan obat.


D. DIMENSI BARU PEKERJAAN KEFARMASIAN.

1. ASUHAN KEFARMASIAN ( Pharmaceutical care ).
2. FARMASI BERDASARKAN BUKTI ( Evidence base pharmacy ).
3. KEBUTUHAN MENJUMPAI PASIEN ( Meeting patients needs ).
4. PENANGANAN PASIEN KHRONIS-HIV/AIDS (Chronic patient care hiv/aids).
5. PENGOBATAN SENDIRI ( self-medications).
6. JAMINAN MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN ( quality assurance of pharmaceutical care ).
7. FARMASI KLINIS ( clinical pharmacy ).
8. KEWASPADAAN OBAT ( pharmacovigilance = MESO ).

1. ASUHAN KEFARMASIAN.

Pharmaceutical care adalah konsep dasar dalam pekerjaan kefarmasian yang timbul pertengahan tahun 1970-an. Dia mengisyaratkan bahwa semua praktisi kesehatan harus memberikan tanggung jawab atas dampak pemberian obat pada pasien. Hal ini meliputi bermacam-macam pelayanan dan fungsi, beberapa masih baru sebagian sudah lama.
Konsep pharmaceutical care juga termasuk komitmen emosional pada kesejahteraan pasien sebagai individu, yang memerlukan dan patut mendapat petunjuk /jasa, keterlibatan dan perlindungan dari seorang apoteker. Pharmaceutical care dapat ditawarkan pada individual atau masyarakat.
Pharmaceutical care yang berbasiskan masyarakat menggunakan data demografi dan epidemiologi untuk mengembangkan formula atau daftar obat, memonitor kebijakan apotik, mengembangkan dan mengelola jaringan farmasi (apotik) menyiapkan serta menganalisa laporan penggunaan obat, biaya obat, peninjauan penggunaan obat dan mendidik provider tentang prosedur dan kebijaksanaan obat.. Tanpa pharmaceutical care, tidak ada sistem yang mengelola dan memonitor kesakitan karena obat secara efektif. Sakit karena obat bisa terjadi berasal dari formularium atau daftar obat-obatan, atau sejak obat diresepkan, diserahkan atau obat yang sudah tidak layak digunakan. Karena itu pasien butuh pelayanan apoteker pada waktu menerima obat. Keberhasilan farmakoterapi merupakan sesuatu yang spesifik untuk masing-masing pasien. Untuk pelayanan pengobatan pasien secara individual, apoteker perlu mengembangkan pelayanan bersama dengan pasien.
Pharmaceutical care tidak dalam isolasi pelayanan kesehatan lain. Dia harus di dukung dalam kolaborasi dengan pasien, dokter , para medis dan tenaga pemberi pelayanan lainnya.
Tahun 1998 Pharmaceutical care di adopsi oleh FIP dan merupakan penuntun (guidance) bagi organisasi apoteker untuk mengimplementasikan pelayanan kefarmasian di negaranya tapi disesuaikan lagi menurut kebutuhan negara masing-masing.

2. FARMASI BERDASARKAN BUKTI.

Dalam lingkungan pelayanan kesehatan agak sukar membandingkan keefektifan berbagai pengobatan. Intervensi layanan kesehatan tidak bisa didasarkan pada pendapat atau pengalaman individu sendiri. Bukti ilmiah dibuat dari penelitian yang berkualitas, yang digunakan sebagai penuntun, diadaptasikan pada negara-negara masing-masing. Lebih jauh tentang ini akan diuraikan pada bab lain.


3. KEBUTUHAN MENJUMPAI PASIEN.

Dalam pelayanan kesehatan yang berpusat pada pasien , tantangan pertama adalah untuk mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan pasien yang berubah.. Apoteker harus dapat menjamin bahwa orang-orang bisa memperoleh obat atau nasehat kefarmasian dengan mudah, sejauh mungkin dalam satu jalan, satu waktu dan satu tempat dari pilihan mereka. Apoteker harus bisa memberdayakan pasien dan melakukan dialog guna menyampaikan pengetahuan yang mereka miliki dalam mengelola pengobatan dan kesehatan sendiri. Meskipun pasien mendapat jangkauan yang luas untuk memperoleh informasi baik dari brosur,barang-barang promosi, iklan di media massa dan melaui internet, informsi ini tidak selalu akurat dan lengkap. Apoteker dapat membantu pasien memberikan informasi yang lebih akurat dengan memberikan informasi berdasarkan bukti dari sumber-sumber yang dipercaya. Konseling melalui pendekatan perjanjian tentang pencegahan penyakit dan modifikasi gaya hidup (lifestyle) akan meningkatkan kesehatan masyarakat disamping memberikan petunjuk bagaimana menggunakan obat yang tepat , mengoptimalkan dampak kesehatan, mengurangi jumlah jenis obat pada setiap pengobatan, mengurangi jumlah obat yang bersisa dan meningkatkan pelayanan kesehatan.
Dalam tahun 2000 publikasi dari Kementerian Kesehatan Inggris berjudul "Pharmacy in the Future " disusun untuk keperluan seorang apoteker untuk meningkatkan dan memperluas kisaran pelayanan kefarmasian pada pasien termasuk identifikasi kebutuhan obat perorangan, pengembangan kerjasama dalam bidang kesehatan, kordinasi dari poses peresepan dan peracikan, peninjauan kembali target pengobatan dan tindak lanjutnya. Pendekatan ini juga memuat model apotik masa depan . Kerangka baru dari farmasi komunitas yang akan dilaksanakan merupakan kunci dalam pelayanan kefarmasian masa depan. Farmasi komunitas akhir-akhir ini akan menjamin kembali pelayanan yang diharapkan pasien, memaksimalkan potensi apoteker untuk memberikan ketrampilan mereka pada hasil yang lebih baik

4. KEPEDULIAN PADA PASIEN KHRONIS HIV-AIDS.
Dalam sejarah dunia selama ini belum pernah ada tantangan kesehatan sehebat menghadapi penyebaran ( pandemi ) HIV-AIDS .
Diperkirakan 40 juta orang didunia tahun 2004 hidup dengan HIV dan 3 juta orang mengidap AIDS . Penularan HIV / AIDS menampilkan masalah kemanusiaan yang luar biasa , hak azasi manusia, krisis kemanusiaan dan tragedi sosial luar biasa yang memukul ekonomi dan kesehatan masyarakat.
Ketersediaan sumber keuangan untuk pengobatan retrovirus (ART) mulai meningkat berasal dari WHO dan negara yang tergabung kelompok G-8 guna pencegahan dan pengobatan HIV / AIDS sampai tahun 2010.
Salah satu profesi kesehatan yang harus dilibatkan dan digerakkan dalam melawan HIV / AIDS ini adalah apoteker. Untuk itu perlu pelatihan terhadap profesi apoteker.
Pada tahun 2003 , Majelis FIP mengadopsi standar Profesi tentang Peranan Apoteker dalam penanganan Pengobatan Jangka Panjang, seperti HIV - AIDS ini.
Dalam tahun 2004 FIP meluncurkan Website International Network untuk apoteker (www.fip.org/hivaids ) yang berfokus pada 3 pilar utama : Pelatihan , dokumentasi dan pertukaran pengalaman.

5. PENGOBATAN SENDIRI (SELF MEDICATION).

Pada Tahun 1996 Majelis FIP mengadopsi aturan tentang " Peranan Profesi Apoteker dalam Pengobatan Sendiri " untuk digunakan sebagai tanggung jawab apoteker dalam pemberian advis pada pengobatan sendiri yang terdiri dari ; pengantar farmasi, promosi penjualan; advis pada pengobatan simptom, hal-hal yang spesifik tentang obat, catatan rujukan dan kepercayaan diri.
Pada tahun 1999 dikeluarkan Deklarasi bersama mengenai Self Medication antara majelis FIP dan Industri Pengobatan Sendiri Dunia ( WSMI ) sebagai pemandu apoteker dan industri dalam hal keamanan dan keefektifan penggunaan obat-obatan tanpa resep .

Luasnya Peranan Apoteker.
Sebagai seorang yang ahli dalam hal obat-obatan karena pendidikannya , apoteker harus selalu dikenal dan dapat dihubungi sebagai sumber nasehat yang benar tentang obat-obatan dan masalah pengobatan. Saat ini kontribusi apoteker pada perawatan kesehatan ( health care ) sedang berkembang dalam bentuk baru untuk mendukung pasien dalam penggunaan obat dan sebagai bagian dari pembuat keputusan klinis bersama spesialis yang lain.
Apotik harus terbuka sepanjang hari, nyaman untuk banyak orang ketika mendapatkan obat dan tidak perlu harus ada janji untuk ketemu apotekernya. Ini membuat apotik menjadi tempat pertama bagi bantuan pemeliharaan kesehatan yang biasa.
Pengobatan sendiri yang biasa akan menjadi lebih populer, tumbuh dengan aman dengan obat-obatnya yang mudah didapat tanpa perlu dengan resep dokter.
Apoteker harus mempunyai keahlian dalam memberi nasehat, memilih obat dan keamanannya serta keefektifan penggunaannya.


6. JAMINAN MUTU ( Q.A.) DARI PELAYANAN KESEHATAN.

Konsep yang menjadi dasar pelayanan kesehatan adalah jaminan kualitas dari pelayanan pasien. Donabedian mendefinisikan 3 unsur jaminan mutu dalam pelayanan kesehatan adalah : struktur, proses dan dampak.
Definisi Quality Assurance adalah rangkaian aktifitas yang dilakukan untuk memonitor dan meningkatkan penampilan sehingga pelayanan kesehatan se efektif dan se efisien mungkin. Dapat juga didefinisikan QA sebagai semua aktifi tas yang berkontribusi untuk menetapkan, merencanakan, mengkaji, memoni tor,dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Aktifitas ini dapat ditampilkan sebagai akreditasi pelayanan farmasi ( apotik), pengawasan tenaga kefarmasian atau upaya lain untuk meningkatkan penampilan dan kualitas pelayanan kesehatan.
Pelaksanaan dan praktek dari pharmaceutical care harus di dukung dan di tingkatkan dengan pengukuran, pengkajian dan peningkatan aktifitas apotik , penggunaan kerangka konsep peningkatan kualitas secara berkesinambungan. Dalam banyak kasus kualitas pelayanan kefarmasian dapat ditingkatkan dengan membuat perubahan pada sistem pelayanan kesehatan atau sistem pelayanan kefarmasian tanpa perlu menambah sumber daya.

7. FARMASI KLINIS.

Istilah farmasi klinis dibuat untuk menguraikan kerja apoteker yang tugas utamanya berinteraksi dengan tim kesehatan lain, interview dan menaksir pasien, membuat rekomendasi terapi spesifik, memonitor respons pasien atas terapi obat dan memberi informasi tentang obat. Farmasi klinis tempat kerjanya di rumah sakit dan ruang gawat darurat dan pelayanannya lebih berorientasi pada pasien dari pada berorientasi produk. Farmasi klinis dipraktekkan terutama pada pasien rawat inap dimana data hubungan dengan pasien dan tim kesehatan mudah diperoleh.
Rekam Medis ( medical record ) atau file dari pasien adalah dokumen resmi termasuk informasi yang diberikan rumah sakit, dimulai dari riwayat pasien , kemajuan latihan fisik sehari-hari yang dibuat tenaga kesehatan yang profesional yang berinteraksi dengan pasien, konsultasi , catatan perawatan, hasil laboratorium, prosedur diagnosa dsb.
Farmasi klinis memerlukan pengetahuan terapi yang tinggi, pengertian yang baik atas proses penyakit dan pengetahuan produk-produk farmasi. Tambahan lagi farmasi klinis memerlukan ketrampilan berkomunikasi yang baik dengan pengetahuan obat yang padat ketrampilan monitoring obat, pemberian informasi obat , ketrampilan perencanaan terapi dan kemampuan memperkirakan dan menginterpretasikan hasil laboratorium dan fisik.
Penakaran farmakokinetik dan monitoring merupakan ketrampilan dan pelayanan istimewa dari farmasi klinis. Seorang farmasi klinis adalah sering merupakan anggota tim kesehatan yang aktif , ikut serta ke bangsal untuk mendiskusikan terapi di ruang rawat inap.

8. FARMAKOVIGILANCE ( FARMASI SIAGA / KEWASPADAAN FARMASI =MESO )

Keamanan obat-obatan adalah issu penting yang lain , karena kompetisi yang kuat diantara pabrik farmasi , dimana produk harus didaftarkan dan di pasarkan di banyak negara secara serentak. Hasilnya adalah efek samping tidak boleh ada dan tidak terpantau secara sistematis.
Farmacovigilance adalah suatu proses yang terstruktur untuk memantau dan mencari efek samping obat ( advere drug reaction ) dari obat yang telah diberikan.
Data-data diperoleh dari sumber-sumber seperti Medicines Information, Toxicology and Pharmacovigilance Centres yang lebih relevan dan bernilai pendidikan dalam manajemen keamanan obat. Masalah yang berhubungan dengan obat, sekali ditemukan , perlu ditetapkan , di analisa ,di tindak lanjuti dan dikomunikasikan pada pejabat yang berwewenang, profesi kesehatan dan masyarakat.
Farmacovigilance termasuk penyebarluasan informasi, Dalam beberapa kasus, obat-obatan dapat direcall, dicabut izin edarnya dari pasaran dan ini dilakukan oleh institusi yang terlibat dalam distribusi obat-obatan. Apoteker harus memberikan kontribusi yang penting untuk melakukan post marketing surveilance dan pharmacovigilance ini.

E. NILAI DARI PELAYANAN APOTEKER YANG PROFESIONAL

Asuhan kefarmasian berdampak pada keadaan kesehatan pasien, meningkatkan kualitas dan ketepatan biaya ( cost efective ) dalam sistem kesehatan. Peningkatan ini memberi faedah pada kesehatan individual sehingga mereka akan menikmati kesehatan lebih baik dan akhirnya bermanfaat pada sebagian besar penduduk.
Pelayanan apoteker dan keterlibatannya dalam pelayanan yang berfokuskan pada pasien telah memberikan dampak kesehatan dan ekonomi serta mengurangi angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian ( mortality ).
Suatu pemberian imbalan (remuneration) yang pantas pada apoteker adalah kunci untuk menjamin mereka melaksanakan praktek pelayanan farmasi yang baik ( good pharmacy practice ) dan selanjutnya berubah kearah pharmaceutical care .Walaupun demikian upaya untuk menjamin bahwa apoteker layak diberi imbalan, akan memerlukan dokumen yang secara nyata meningkatkan dampak sebagai pernyataan dari penyedia dana bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang memberikan nilai ekonomi . Klasifikasi kegiatan praktek farmasi ( The Pharmacy Practice Activity Classification = PPAC ).
Sebagai apoteker yang prakteknya berfokuskan peningkatan asuhan kefarmasian dan mengharapkan diberikan kompensasi untuk pelayanan pharmaceutical care itu , kebutuhan pada klasifikasi praktek farmasi yang dapat diterima secara konsisten harus menjadi lebih nyata ( terbukti ). Meskipun banyak sistem untuk mencatat aktifitas apoteker , sampai sekarang profesi ini kurang diterima untuk menguraikan atau mencatat aktifitas dalam bahasa yang umum. Klassifikasi aktifitas praktek farmasi (PPAC) telah dicoba buat oleh The American Pharmacists Association (APhA= ISFI nya Amerika ) dalam bahasa yang sederhana yang jika digunakan secara konsisten akan menghasilkan data perbandingan diantara studi-studi yang ada.

F. APOTEKER SEBAGAI ANGGOTA TIM PELAYANAN KESEHATAN.

Tim pelayanan kesehatan terdiri dari pasien dan semua profesi kesehatan yang bertanggung jawab untuk kepedulian kesehatan pasien. Tim ini perlu didefinisikan secara baik dan perlu kerjasama secara aktif. Apoteker mempunyai peran yang penting dalam tim ini. Mereka akan memerlukan penyesuaian pengetahuan mereka , ketrampilan dan sikap pada peran yang baru ini, dalam mana mengintegrasikan ilmu farmasi dengan aspek klinis pada pelayanan kesehatan pasien, ketrampilan klinis, ketrampilan manajemen dan komunikasi serta kerjasama yang aktif dalam tim medis dan ikut dalam pemecahan masalah obat-obatan.
Jika mereka diakui sebagai sebagai anggota penuh tim kesehatan, para apoteker akan butuh untuk mengadopsi sikap essensial dalam kerja profesi kesehatan pada wilayah ; pandangan ( visibility; ), tanggung jawab ( responsibility ), keterjangkauan ( accessibility ) dalam tugas yang diperlukan untuk masyarakat, kepercayaan diri dan orientasi pasien.
&;nbsp; Apoteker harus memiliki kompetensi , visi dan suara dalam berintegrasi penuh kedalam tim kesehatan.
Aliansi Profesi Kesehatan Sedunia yang didirikan tahun 1999 untuk menfasilitasi kerjasama diantara organisasi apoteker sedunia ( FIP) , organisasi dokter sedunia (WMA), majelis perawat sedunia (ICN), ikatan dokter gigi sedunia (FDI) guna membantu Pemerintah, pembuat kebijakan dan WHO supaya tercipta pelayanan kesehatan yang lebih baik, dan cost efectif ( www.whpa.org).


1. Rangkaian pekerjaan farmasi.

Peran apoteker terdapat dalam berbagai sektor di dunia. Keterlibatan apoteker dalam kefarmasian eda dalam dunia riset dan pengembangan (R&D), formulasi, manufaktur , jaminan mutu, lisensi, marketing, distribusi, penyimpanan, suplai, tugas informasi, dikelompokkan menjadi pelayanan kefarmasian dan diteruskan kedalam bentuk dasar dari praktek farmasi. Apoteker bekerja dalam rangkaian variasi yang lebar , dalam bentuk farmasi komunitas ( retail dan pelayanan kesehatan ), farmasi rumah sakit ( dalam berbagai bentuk dari rumah sakit kecil sampai rumah sakit besar ) , industri farmasi farmasi dan lingkungan akademis. Disamping itu apoteker juga terlibat administrasi pelayanan kesehatan, penelitian, organisasi kesehatan internasional dan organisasi non pemerintah.


2. Tingkatan praktek dan pembuatan keputusan.

Praktek farmasi terdapat pada level yang berbeda-beda. Tujuan akhir dari aktifitas ini adalah manfaat pada pasien dengan meningkatkan dan menjaga kesehatan mereka. Aktifitas pada level pasien individual adalah mendukung dan mengelola terapi obat. Pada level ini keputusan dibuat pada issu pharmaceutical care dan triage ( prioritas pelayanan, tindak lanjut dan pemantauan dampak pengobatan ).
Beberapa aktifitas pada level manajemen suplai dalam farmasi komunitas dan rumah sakit adalah pembuatan, peracikan , pengadaan dan distribusi obat.
Pada level institusi seperti di rumah sakit dan klinik, organisasi pengelolaan pelayanan atau apotik aktifitas pada seleksi obat termasuk formularium, pedoman pengobatan dan peninjauan penggunaan obat-obatan. Tool ini harus diterima sebagai pemberi pelayanan kesehatan dan harus dilaksanakan.
Pada level sistem ( seperti negara , negara bagian , propinsi ) aktifitas apoteker pada perencanaan, pengelolaan, legislasi, regulasi dan kebijaksanaan masih memungkinkan untuk dikembangkan dalam pengembangan dan pengoperasian sistem pelayanan kesehatan. Pada level sistem ini juga termasuk penetapan standar pelayanan dan perizinan apotik. Kebijaksanaan Obat Nasional telah berkembang pada banyak negara sebagai kebijaksanaan kesehatan . Pada level internasional telah bergerak kearah harmonisasi pendekatan pada industri farmasi dan pelayanan apotik.
Pada level komunitas dan penduduk, praktek kefarmasian termasuk aktifitas pendukung level-level lain yaitu pemberian informasi, edukasi dan komunikasi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, pemberian informasi obat-obatan, penelitian,, penyebar-luasan informasi baru , pendidikan dan pelatihan staf, barang-barang konsumen , organisasi kesehatan dan peneliti sistem kesehatan.
Promosi kesehatan, pencegahan penyakit dan modifikasi gaya hidup adalah aktifitas pada level komunitas yang berfokus kesehatan masyarakat. Apoteker dapat masuk pada bagian mana saja karena mereka mempunyai latar belakang pendidikan kesehatan. Apoteker merupakan sumber informasi dan nasehat mengenai kesehatan dan obat-obatan.
Karena demikian mereka tidak dapat bekerja dalam isolasi dan harus menerima tanggung jawab bersama dengan profesi kesehatan lain dalam melaksanakan pelyanan kesehatan masyarakat.


3. The seven star pharmacist.

Untuk bisa efektif sebagai anggota tim kesehatan, apoteker butuh ketrampilan dan sikap untuk melakukan fungsi-fungsi yang berbeda-beda. Konsep the seven-star pharmacist diperkenalkan oleh WHO dan diambil oleh FIP pada tahun 2000 sebagai kebijaksanaan tentang praktek pendidikan farmasi yang baik ( Good Pharmacy Education Practice ) meliputi sikap apoteker sebagai : pemberi pelayanan (care-giver), pembuat keputusan (decision-maker) , communicator, manager, pembelajaran jangka panjang (life-long learner), guru ( teacher ) dan pemimpin (leader). Pada buku pegangan ini penerbit menambahkan satu fungsi lagi yaitu sebagai researcher ( peneliti ).

a. Care- giver.
Dalam memberikan pelayanan mereka harus memandang pekerjaan mereka sebagai bagian dan terintegrasi dengan sistem pelayanan kesehatan dan profesi lainnya . Pelayanannya harus dengan mutu yang tinggi.
b. Decision- maker
Penggunaan sumber daya yang tepat , bermanfaat , aman dan tepat guna seperti SDM, obat-obatan, bahan kimia, perlengkapan, prosedur dan pelayanan harus merupakan dasar kerja dari apoteker. Pada tingkat lokal dan nasional apoteker memainkan peran dalam penyusunan kebijaksanaan obat-obatan. Pencapaian tujuan ini memerlukan kemampuan untuk mengevaluasi, menyintesa informasi dan data serta memutuskan kegiatan yang paling tepat.
c. Communicator
Apoteker adalah merupakan posisi ideal untuk mendukung hubungan antara dokter dan pasien dan untuk memberikan informasi kesehatan dan obat-obatan pada masyarakat. Dia harus memiliki ilmu pengetahuan dan rasa percaya diri dalam berintegrasi dengan profesi lain dan masyarakat. Komunikasi itu dapat dilakukan secara verbal ( langsung ) non verbal , mendengarkan dan kemampuan menulis.
d. Manager.
Apoteker harus dapat mengelola sumber daya ( SDM, fisik dan keuangan ) , dan informasi secara efektif . Mereka juga harus senang dipimpin oleh orang lainnya , apakah pegawai atau pimpinan tim kesehatan. Lebih-lebih lagi teknologi informasi akan merupakan tantangan ketika apoteker melaksanakan tanggung jawab yang lebih besar untuk bertukar informasi tentang obat dan produk yang berhubungan dengan obat serta kualitasnya.
e. Life-long learner
Adalah tak mungkin memperoleh semua ilmu pengetahuan di sekolah farmasi dan masih dibutuhkan pengalaman seorang apoteker dalam karir yang lama. Konsep-konsep, prinsip-prinsip , komitmen untuk pembelajaran jangka panjang harus dimulai disamping yang diperoleh di sekolah dan selama bekerja. Apoteker harus belajar bagaimana menjaga ilmu pengetahuan dan ketrampilan mereka tetap up to date.
f. Teacher
Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk membantu pendidikan dan pelatihan generasi berikutnya dan masyarakat.. Sumbangan sebagai guru tidak hanya membagi ilmu pengetahuan pada yang lainnya, tapi juga memberi peluang pada praktisi lainnya untuk memperoleh pengetahuan dan menyesuaikan ketrampilan yang telah dimilikinya.
g. Leader
Dalam situasi pelayanan multi disiplin atau dalam wilayah dimana pemberi pelayanan kesehatan lainnya ada dalam jumlah yang sedikit, apoteker diberi tanggung jawab untuk menjadi pemimpin dalan semua hal yang menyangkut kesejahteraan pasien dan masyarakat. Kepemimpinan apoteker melibatkan rasa empati dan kemampuan membuat keputusan , berkomunikasi dan memimpin secara efektif. Seseorang apoteker yang memegang peranan sebagai pemimpin harus mempunyai visi dan kemampuan memimpin.
h. Researcher
Apoteker harus dapat menggunakan sesuatu yang berdasarkan bukti ( ilmiah , praktek farmasi , sistem kesehatan ) yang efektif dalam memberikan nasehat pada pengguna obat secara rasional dalam tim pelayanan kesehatan.. Dengan berbagi pengalaman apoteker dapat juga berkontribusi pada bukti dasar dengan tujuan mengoptimalkan dampak dan perawatan pasien.. Sebagai peneliti , apoteker dapat meningkatkan akses dan informasi yang berhubungan dengan obat pada masyarakat dan tenaga profesi kesehatan lainnya.

G. PRAKTEK FARMASI : SUATU KOMITMEN UNTUK MELAKUKAN
PERUBAHAN

1. PERUBAHAN KEBIJAKAN

WHO Konsultatif Group untuk Peranan Apoteker telah dilaksanakan di New Delhi tahun 1968, di Tokyo tahun 1993. Majelis Kesehatan Sedunia ( W H Assembly ) tahun 1994 memutuskan dalam pengembangan dan pelaksanaan Kebijaksanaan Obat Nasional diarahkan pada "penggunaan obat yang rasional". Kebijaksanaan Obat Nasional ( KONAS) yang telah dikembangkan pada lebih dari 100 negara anggota WHO dan telah menyusun kerangka untuk praktek kefarmasian yang baik (good pharmaceutical practice) Strategi Obat Revisi WHO sehubungan dengan peranan apoteker telah dibuat pada tahun 1994 sebagai resolusi WH Assembly tersebut diatas. Resolusi ini merupakan kunci bagi peran apoteker dalam kesehatan masyarakat, termasuk penggunaan obat-obatan. Resolusi itu menekankan tanggung jawab apoteker pada pemberian informasi dan nasehat tentang obat serta penggunaannya , memajukan konsep pharmaceutical care dan berpartisipasi aktif dalam pencegahan penyakit serta promosi kesehatan. Forum konsultasi WHO tentang peran apoteker ketiga telah dilakukan di Vancouver tahun 1997 dan ke empat dilakukan di Hague tahun 1998.


2. PERUBAHAN DALAM PENDIDIKAN FARMASI DAN PENDEKATAN
PEMBELAJARAN BARU

Apoteker berdiri pada daerah antara riset dan pengembangan , manufaktur , penulis resep, pasien dan obat itu sendiri. WHO telah menghimbau agar lebih besar keterlibatan apoteker dalam sistem pelayanan kesehatan umum dan penggunan obat yang lebih besar sesuai latar belakang pendidikan akademisnya. Dalam hal pernyataan kebijaksanaan ini FIP mengatakan bahwa perubahan dalam peran apoteker harus di refleksikan dalam pendidikan berkelanjutan apoteker, dengan lebih banyak fokusnya pada pembelajaran mahasiswa. Paradigma baru farmasi memerlukan apoteker yang lebih ahli dalam ilmu farmaseutik dan kimia farmasi. Mereka harus mengerti dan menggunakan aturan-aturan di belakang semua keperluan dalam aktifitas mengelola terapi obat. Pada tahun 1999 Asosiasi Fakultas Farmasi Eropa mengajukan suatu pergantian program studi farmasi dari ilmu yang berbasiskan laboratorium kepada ilmu praktek dan klinis.
Perubahan kearah pendekatan perawatan pasien telah terjadi dalam bermacam tingkatan di beberapa negara seperti Inggris dan Amerika Serikat. Ini meliputi daerah yang amat luas dan merupakan peluang bagi apoteker untuk merubah dan meningkatkan dampak pada pasien secara integral, dan sebagai anggota yang aktif dalam tim pelayanan pasien. Tetapi, terutama di negara-negara berkembang, kurikulum farmasi telah lama dilalaikan pada banyak institusi pendidikan , dimana telah membantu mengekalkan status apoteker yang kurang bermutu dalam pelayanan sektor kesehatan . Dalam kurikulum farmasi tradisional, penekanan kurikulum lebih sering pada aspek teknis kefarmasian bukan pada praktek profesional.
Tekanan dibelakang perubahan pendidikan farmasi, banyak variasinya dan meningkat dalam jumlah serta intensitasnya. Kekuatan ekonomi dan politik yang besar telah mempengaruhi sistem kesehatan di banyak negara dan juga mempunyai pengaruh pada praktek kefarmasian . Sebagai hasilnya adalah diperlukan perubahan radikal dalam pendidikan kefarmasian. Peranan dan fungsi apoteker serta staf kefarmasian perlu dikaji kembali dan dampak pendidikan beserta kurukulum farmasi harus di definisikan kembali secara jelas . Penggunaan dampak akan menolong pengembangan kurikulum. Dampak pendidikan harus termasuk dalam hal-hal berikut ini :
1. Pharmaceutical care dengan penekanan berfokus pada kepedulian kepada pasien dan masyarakat.
2. Manajemen sistem sumber daya ( sumber daya manusia, obat-obatan,, informasi dan teknologi ).
3. Jaminan kesehatan masyarakat yang efektif, bermutu,serta pelayanan pencegahan dan kebijaksanan pengembangan kesehatan masyarakat.

Perubahan pendidikan farmasi tidak hanya memerlukan revisi dan restrukturisasi kurikulum tapi juga suatu komitmen pada pada pengembangan fakultas yang menyiapkan dosen-dosen untuk mendidik apoteker dalam bentuk yang berbeda. Tipe dan dalamnya pelajaran dan materi pengalaman termasuk suatu yang akan berbeda. Jumlah dan alokasi sumber pendidikan harus berubah. Sekolah / perguruan tinggi farmasi harus kreatif, maju dan mrnyiapkan model praktek yang bernilai serta dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan .
Kurikulum pelatihan harus di pertimbangkan sesuai dengan kebutuhan, target audien, dampak pembelajaran , isi pelatihan , metode pengajaran, sumber pelajaran, pengkajian peserta, evaluasi pelatihan dan jaminan mutu .
Beberapa tahun terakhir telah dilakukan suatu pergantian dalam pendidikan ilmu kesehatan kearah pembelajaran berdasarkan masalah. Kurikulum farmasi berdasarkan masalah juga telah dikembangkan pada beberapa negara seperti Inggris, Australia, Nederland dan Afrika Selatan. Di banyak negara standar kompetensi juga telah didefinisikan dan disiapkan guna diperbandingkan. Standar ini digunakan untuk mengkaji pengetahuan profesional kesehatan dan kemampuan untuk uji registrasi atau dalam pengembangan profesi berkelanjutan ( continuing professional development = CPD ) . CPD termasuk juga penelitian dan refleksinya pada dampak pekerjaan, akan memberikan arti pada pemeliharaan kompetensi jangka panjang.
Inilah saatnya perubahan mahabesar akan terjadi dalam pelayanan kesehatan dan profesi farmasi. Tidak ada waktu lagi dan sejarah baru dari profesi farmasi harus dimunculkan dengan penuh tantangan dan peluang. Sementara itu profesi farmasi harus diarahkan kepada asuhan kefarmasian sebagai kontribusi besar yang di persembahkan kepada masyarakat, pendidikan kefarmasian pun perlu dikembangkan, kompetensi , isi dan proses kurikulum pendidikan perlu disiapkan untuk mendidik mahasiswa kepada asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) dalam memasuki sistem pelayanan kesehatan nanti.


H. KESIMPULAN

Meskipun jumlah produk kefarmasian meningkat di pasaran , akses kepada obat-obat essensial masih lemah di seluruh dunia. Meningkatnya biaya pelayanan kesehatan, perubahan sosial, ekonomi, teknologi , dan politik telah membuat suatu kebutuhan reformasi pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Pendekatan baru ini dibutuhkan pada level perorangan dan masyarakat untuk menyokong keamanan dan keefektifan pengunaan obat pada pasien dalam lingkungan yang lebih kompleks.
Apoteker adalah suatu posisi yang istimewa untuk memenuhi kebutuhan profesional ini guna menjamin keamanan dan keefektifan penggunaan obat-obatan . Oleh sebab itu apoteker harus menerima tanggung jawab yang lebih besar ini dari pada mereka terutama melakukan pengelolaan obat untuk pelayanan pasien. Tanggung jawab ini berjalan dibelakang aktifitas peracikan tradisional yang telah lama berjalan dalam praktek farmasi. Pengawasan rutin proses distribusi obat-obatan harus ditinggalkan oleh apoteker.
Keterlibatan langsung mereka dalam distribusi obat-obatan akan berkurang karena aktifitas ini akan ditangani oleh asisten farmasi yang berkualitas. Dengan demikian jumlah pengawasan aktifitas farmasi akan bertambah. Tanggung jawab apoteker harus diperluas pada monitoring kemajuan pengobatan, konsultasi dengan penulis resep dan kerjasama dengan praktisi kesehatan lainnya demi untuk keperluan pasien. Perubahan kearah asuhan kefarmasian ( pharmaceutical care ) merupakan faktor yang kritis .
Nilai dari pelayanan apoteker dalam hal klinis, dampak ekonomi dan sosial telah dicoba di dokumentasikan. Klassifikasi pekerjaan farmasi telah dihitung oleh American Pharmacists Association ( ISFI -nya Amerika ) dalam bahasa yang sederhana .Farmasi telah di praktekkan mulai dari cara sederhana sampai pada rangkaian baru dan tingkat-tingkat pembuatan keputusan. Sebagai anggota tim kesehatan, apoteker butuh kecakapan dalam banyak fungsi yang berbeda-beda. Konsep seven star pharmacist telah diperkenalkan oleh WHO dan FIP telah mengadopsi dan menguraikan peran itu.
Apoteker mempunyai potensi untuk meningkatkan dampak pengobatan dan kualitas hidup pasien dalam berbagai sumber dan mempunyai posisi sendiri yang layak dalam sistem pelayanan kesehatan.. Pendidikan farmasi mempunyai tanggung jawab menghasilkan sarjana yang kompeten dalam melaksanakan asuhan kefarmasian ( pharma ceutical care ).
Dikutip dari laporan kertas kerja WHO dan FIP

Baca Selengkapnya »»

Hubungan Industri Farmasi dan Dokter

Hubungan dokter-pasien dewasa ini merupakan topik yang semakin sering dibahas. Apalagi dengan semakin meningkatnya ketidakpuasan pasien dan keluarga terhadap layanan dokter di Indonesia maka pentingnya hubungan dokter-pasien yang baik semakin dirasakan. Bagaimana pula dengan hubungan industri farmasi dan dokter ? Kita dapat memandang hubungan ini dari berbagai segi. Media massa sering memberitakannya sebagai hubungan yang kurang sehat dan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan harga obat di Indonesia semakin tak terjangkau. Industri farmasi melalui perusahaan yang memasarkan obatnya dituduh dengan berbagai cara membujuk dokter untuk meresepkan produknya. Sedangkan dokter diduga telah mengambil keuntungan dari peresepan obat tersebut. Opini publik mengenai hubungan seperti itu cukup kuat seolah memang sebagaian besar dokter melakukannya. Upaya profesi kedokteran dan farmasi untuk menegakkan etik dalam peran masing-masing sebenarnya cukup nyata. Ikatan Dokter Indonesia berkali-kali mengingatkan anggotanya agar berpihak pada masyarakat lemah dan tidak tergoda bujuk rayu perusahaan farmasi.

Di lain pihak profesi kepfarmasian serta perhimunan industri farmasi juga telah menyusun etik pemasaran yang pada dasarnya mencegah pemasaran obat dengan cara hubungan tak sehat dengan dokter. Pada panduan pemasaran tersebut jelas disebutkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam pemasaran obat yang berkaitan dengan hubungan industri farmasi dengan dokter. Pemberian hadiah apalagi uang dilarang. Perusahaan farmasi dapat mendukung program pengembangan profesi dokter namun dukungan tersebut tidak dilakukan untuk perorangan tapi untuk pengembangan profesi atau institusi. Jika profesi kedokteran dan kefarmasian sudah mempunyai rambu-rambu dalam hubungan industri farmasi dan dokter kenapa masih ada kecurigaan masyarakat ? Masyarakat merasakan beban harga obat yang semakin tinggi. Meski mereka memahami biaya untuk penemuan obat baru amat mahal namun mereka juga merasakan bahwa banyak obat sekarang ini yang harganya sudah lebih tinggi daripada emas. Obat yang sudah habis masa patennya di Indonesia tak kunjung turun harganya. Padahal di negeri lain obat tersebut harganya diturunkan secara nyata. Beban yang dipikul masyarakat semakin terasa berat karena sebagian besar anggota masyarakat harus membayar harga tersebut dengan uang dari kantong mereka sendiri. Jumlah peserta asuransi kesehatan di negeri kita belumlah seperti yang diharapkan.

Mungkinkan hubungan industri farmasi-dokter dikembangkan untuk kepentingan yang lebih luas yaitu masyarakat. Industri farmasi memproduksi obat yang bermutu serta biaya pemasarannya tidak tinggi. Dokter menggunakan obat secara rasional dan tidak terpengaruh oleh bujukan perusahaan farmasi. Persaingan yang sehat di kalangan industri farmasi akan memperkuat industri farmasi. Sedangkan penggunaan obat secara rasional sesuai dengan prinsip profesi keberpihakkan kepada masyarakat luas (altruisme). Maukah industri farmasi di Indonesia meningkatkan kemampuannya sehingga lebih mampu bersaing? Maukah kalangan kedokteran menghapus berbagai previlege yang mungkin ada selama ini sebagai efek samping persaingan pemasaran obat yang tidak sehat ? Nampaknya jawabannya hanya satu yaitu : harus mau. Kalau tidak kepercayaan masyarakat kepada industri farmasi dan profesi kedokteran di negeri kita akan semakin pudar.
sumber: isfinasional

Baca Selengkapnya »»

Sindrom HELLP dengan perburukan

Sindrom HELLP merupakan sing­kat­an dari Hemolysis, Elevated Liver function, dan Low Platelet count. Keadaan ini merupakan salah satu komplikasi dari preeklamsia de­ngan faktor risiko partus preterm, hambatan pertumbuhan janin, serta partus per­abdominam. Patogenesis sindrom HELLP masih belum jelas. Diagnosis dini sangat penting ditegakkan karena morbiditas dan mortalitas penyakit ini tergolong tinggi, sekitar 25 persen. Kadar trom­bosit yang rendah menjadi indikator yang sensitif dalam penegakan diagnosis sindrom HELLP. Uji D-dimer bisa menjadi alat identifikasi yang penting untuk me­nunjukkan tanda awal sindrom HELLP pa­da pasien preeklamsia. Terapi untuk pa­sien sindrom HELLP merupakan manajemen su­portif meliputi profilaksis kejang (eklampsia) dan kontol tekanan darah pa­da pa­sien dengan hipertensi. Pasien dengan ke­hamilan preterm dilakukan terapi konservatif, sedangkan pasien aterm me­ru­pakan indikasi untuk terminasi. Be­be­rapa pasien memerlukan transfusi produk da­rah, sebagian lagi sangat responsif de­ngan terapi kortikosteroid.
Hipertensi sejak hamil pertama
Seorang wanita hamil berusia 27 ta­hun (G2P1A0) mengeluh sesak napas satu hari sebelum ke Rumah Sakit Umum (RSU). Saat itu ia mengeluh nyeri ulu hati, namun kaki tidak bengkak, tidak nyeri ke­pala, pandangan tidak kabur, tidak keluar lendir atau darah, tidak mual, dan tidak muntah. Diduga ia telah diduga menderita sindrom HELLP oleh dokter kandungan setempat namun karena keterbatasan alat pemeriksaan, ia dirujuk ke Rumah Sa­kit Umum Pusat Nasional (RSUPN) de­ngan diagnosis Intrauterine Fetal Death (IUFD) dari hasil USG. Di sana ia telah mendapat terapi asam traneksamat, deksametaon, ceftriaxone, digoksin, aspirin, dan regimen antihipertensi.
Karyawan pabrik yang sehari-hari bekerja di kawasan industri ini tengah hamil 25-26 minggu dan sejak awal kehamilan sang ibu sudah dinyatakan menderita ‘da­rah tinggi’ oleh dokter yang memeriksa­kan perawatan antenatal. Tekanan darahnya saat ini berkisar 130/90 mmHg (su­dah mengkonsumsi obat antihipertensi). Hari pertama haid terakhirnya sesuai de­ngan perkiraan usia kehamilan melalui USG. Ia juga telah memiliki riwayat hi­per­tensi pada kehamilannya yang pertama.
Janin telah mati
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang, tampak pu­cat namun tidak sesak, tekanan darah 180/110 mmHg dan suhu 36.50C. Ter­dengar bunyi jantung gallop (S4), perut mem­buncit esuai kehamilan, dan ekstre­mi­tas yang tidak edema. Pemeriksaan obs­tetri menunjukkan tinggi fundus uteri 15 cm, vulva dan uretra tenang, porsio licin, merah, tidak ada fluor albus dan fluxus. Porsio kenyal ke arah belakang de­ngan panjang 2 cm, kepala pada H1, dan protein stick menunjukkan angka +2. Pemeriksaan USG menunjukkan presen­ta­si janin kepala tunggal tanpa ada de­nyut jantung janin dan telah terdapat spalding sign. Di RSUPN ia didiagnosis ulang sebagai sindrom HELLP akibat pre­eklamsia berat (PEB).
Saat itu juga ia direncanakan untuk cek darah perifer lengkap (DPL), urinalisis lengkap (UL), gula darah sewaktu (GDS), enzim transaminase (SGOT/SGPT), dan laktat dehidrogenase (LDH) ulang. Dicek pula elektrokardiografi (EKG), asam urat, ureum, kreatinin, albumin, elektrolit, fibri­nogen, dan d-dimer. Perawatannya terpa­du antara dokter obstetri ginekologi de­ngan konsultasi dokter kardiologi dan dok­ter mata.
Rencana terapi yang utama ialah ter­mi­nasi pervaginam untuk menghentikan hipertensi dengan perangsang misoprostol (4x50 mg) dengan folley cathether. Se­la­lu dilakukan pengawawan tanda vital dan tanda-tanda perburukan. Kepalanya diele­va­si 300 dan dimasukkan bolus MgSO4 4 gram dilanjutkan drip 1 gr/jam dalam 24 jam. Obat yang dipakai ialah ISDN 3x10 mg (dosis maksimal 80 mg) dengan selalu dilakukan pengawasan te­kanan darah ditambah vitamin C seba­nyak 2x400 mg perhari. Deksametason te­tap diberikan 10 mg dua kali sehari, serta pemberian antibiotik Amoxicillin 3x500 mg.
Usai dicek, erdapat penurunan hematokrit, leukositosis, trombositopenia, ser­ta kadar fibrinogen dan D-dimer yang tinggi. Hasil tes urin menunjukkan sedimen leukosit, eritrosit, proteinuria, dan hemoglobinuria. Hasil tes fungsi hati menun­juk­­kan peningkatan signifikan (SGOT, SGPT, dan LDH) disertai hipoalbuminemia. Hemoglobin makin hari makin turun (8,2 g/mL). Leukositosis tetap terdeteksi dalam nilai 24.000/mm3. Trombosit terakhir 136.000/mm3. Hasil uji D-dimer me­ningkat tinggi (5,3), fibrinogen juga meningkat (642).
Setelah mengalami persalinan atas in­duksi oksitoksin secara spontan, keluar ja­nin mati (IUFD) namun etelah itu te­kanan darah masih tidak terkontrol (160/100 mmHg). Setelah ditransfusi PRC pun konjungtiva masih pucat, akral dingin, dan masih ditemukan beberapa purpura pada ekstremitas.
Vasospasme kapiler paru
Wanita yang akhirnya berstatus P2A1 ini sudah mengalami kali kedua pre­eklamsia. Pada kehamilan yang pertama bayi dapat dilahirkan spontan cukup bu­lan. Namun ka­­li kedua preeklamsia terjadi ketika usia ke­hamilan masih 24-25 ming­gu serta te­lah terdeteksi janin mati da­lam kandungan dengan pemeriksaan de­nyut jantung janin dan USG. Dengan de­mikian dilakukan terminasi pervaginam dengan induksi pros­ta­glandin-folley ka­teter dua hari SMRS di­barengi tata laksana kontrol tekanan da­rah dan pencegahan kejang. Preeklamsia yang makin be­rat terjadi pada kehamilan kedua masih tetap memungkinkan mes­ki­pun ber­da­sar­kan epidemiologi pasien tergolong di atas kurva normal. Faktor risiko preeklamsia ia­lah nullipara, gemelli, hamil dengan pa­sangan baru, keturunan pre­eklam­sia da­lam keluarga, serta berbagai penyakit me­­tabolik (DM, hipertensi, pe­nya­kit ginjal).
Datang dengan keluhan sesak napas, diduga akibat vasospasme kapiler paru. Ditatalaksana di RSU secara suportif dan sudah tidak sesak ketika dirujuk ke RSUPN. Di RSUPN diduga (masih) edema paru dan dipastikan dengan konsul kardiologi yang ternyata menunjukkan hasil tidak ada tanda-tanda gagal jantung kiri, meskipun pada saat itu tertulis di status IGD terdapat gallop pada auskultasi jantung. Sampai pemantauan terakhir masih terdengar murmur dan click sistolik yang menandakan masih adanya hipertensi.
Gejala sindrom HELLP
makin jelas
Dari awal datang tidak mengeluh ada­nya kelainan frekuensi BAK dan BAB. Na­mun dikeluhkan warna urin menjadi lebih keruh, seperti air teh, dikonfirmasi de­ngan hasil tes urin (cito) yang menunjuk­kan sedimen eritrosit (14-16 LPB) serta hemoglobinuria 2+ disertai proteinuria 2+. Proteinuria positif disertai hipertensi, meskipun tidak terlihat edema difus, men­jadikan pasien ini menyandang status preeklamsia. Dengan tensi inisial 180/110 mmHg, berdasarkan klasifikasi standar preeklamsia tergolong kategori preeklamsia berat.
Hasil uji kimia darah saat itu menunjukkan kadar ureum yang sedikit me­ning­kat, peningkatan signifikan enzim hati yang dibarengi hipoalbuminemia. Seperti telah disebutkan, pasien tidak terlihat beng­kak, kecuali pada regio pretibial. Asam urat masih dalam taraf normal, me­nunjukkan fungsi filtrasi glomerolus pa­sien belum terlalu terganggu.
Tidak ditemukan pandangan kabur pa­da pasien dan telah dikonfirmasi dengan hasil konsul bagian Mata dengan hasil ti­dak ditemukan papilledema. Ditambah de­ngan pemeriksaan refleks fisiologis pa­tella yang normal, menunjang tidak ditemukan kelainan neurologis sehingga me­nun­jukkan tidak adanya eklampsia3.
Adanya petekia dan purpura pada pa­sien menunjukkan efek preeklamsia telah menyebabkan koagulopati. Hasil darah pe­rifer lengkap menunjukkan trombosit yang rendah (160.000/mm3). Tanda ini merupa­kan petanda klinis signifikan un­tuk kecurigaan sindrom HELLP dan thrombotic trombocytopenic purpura yang ke­dua­nya berbahaya bagi kehamilan. De­ngan konfirmasi APTT yang dalam batas normal, sudah mampu menegakkan diagnosis perdarah­an akibat murni rendahnya trombosit sebagai bagian dari sindrom HELLP. Ditambah dengan hasil pening­kat­an fungsi hati (trans­aminase) meski be­lum ditemui tan­da hemolisis sudah mam­pu menegakkan diagnosis sindrom HELLP dengan klasifi­ka­si parsial. selain itu, hemolisis memang merupakan petanda yang biasanya terakhir ditemukan pa­da pasien sindrom HELLP sehingga dapat menunjukkan bah­wa keadaan pasien be­lum terlalu parah. Belakangan ditemui bah­wa hemoglobin ma­kin rendah, air seni pasien yang ber­ubah warna seperti air teh, serta perdarahan yang makin ba­nyak, diduga akibat he­mo­lisis dan dapat di­kategorikan sebagai sindrom HELLP total.
Perburukan penyakit
Saat datang pasien mengeluh nyeri ulu hati sebagai petanda kerusakan hati. Sebagai alat diagnostik lab, konfirmasi D-dimer kuantitatif dan kadar fibrinogen me­nunjukkan nilai yang tinggi (D-dimer=1,8 Fibrinogen=869). Dengan demikian, da­pat disimpulkan telah terjadi nekrosis he­patoselular akibat vasospasme hepar. Leng­kaplah penegakan diagnosis sindrom HELLP sebagai komplikasi pre­eklam­sia berdasarkan kriteria dasar he­mo­lisis, peningkatan aktivitas hati, trombosit yang rendah, serta tekanan darah yang tinggi.
Sebelum partus pasien telah menda­pat terapi konservatif6 induksi secara me­kanis dan kimiawi, antikejang pada 24 jam pertama, antioksidan Vit.C dan NAC (fluimucyl), antihipertensif, balans cairan dan kalori, kortikosteroid, dan antibiotik. Selain itu terapi yang paling penting ialah terminasi kehamilan.
Ternyata hingga dua hari pascapartus pasien tetap mengalami tekanan darah yang tidak terkontrol (160/100 mmHg). Terapi antihipertensif terus dilanjutkan namun antioksidan telah dihentikan. Per­da­rahan makin banyak terjadi (spontan da­ri gusi) hingga Hb mencapai nilai 8,2 µg/L dan diputuskan untuk transfusi PRC 180 cc. Perdarahan ini kemungkinan akibat pemakaian heparin mikrodrip sebagai bagian dari tata laksana Disseminated In­travascular Coagulation (DIC) untuk men­ce­gah nekrosis hati. Kejadian perdarahan ini memang sering dilaporkan akibat dokter menggunakan heparin sebagai terapi pelebaran pembuluh darah. Meskipun he­parin telah terbukti tidak memiliki efek yang signifikan untuk terapi preeklamsia7, namun tetap dipakai selama D-di­mer kuantitatif pasien terus di atas nilai normal. D-dimer yang meningkat menunjukkan masih adanya tanda DIC. Sejauh ini pasien masih ditatalaksana puerperial terkontrol hingga perdarahan berhenti.
Hipertensi yang tak kunjung hilang pa­da pasien ini kemungkinan terjadi akibat inflamasi berlebih dari disfungsi endotel pascapreeklamsia. Leukosit terus me­nun­­jukkan peningkatan (27800/mm3). Ke­­mungkinan selain penghentian antiok­si­dan, memang pasien ini mengalami re­covery endotel yang relatif lama. Umum­nya hipertensi akan menyingkir pada 3-4 x 24 jam pascapartus pada pasien pre­eklamsia. Perlu penyelidikan lebih lanjut untuk menemukan penyebab prolong hy­pertension ini, mungkin antioksidan yang digunakan tidak sesuai dengan kelas ra­dikal bebas pasien, mungkin terdapat pe­nyakit metabolik yang tidak terdeteksi (mi­salnya prediabetes mellitus, dislipide­mia familial, dll.), adanya acute renal failure, kegagalan sirkulasi jantung (masih terdengar murmur sistolik), atau memang terdapat kelainan pembuluh darah, meng­ingat hipertensi kali ini ialah hasil dari preeklamsia berulang.
Dengan demikian secara fungsi, prognosis pasien ini sudah relatif buruk –ma­lam- karena masih memungkinkan ada­nya kemungkinan penyakit-penyakit lain yang menyebabkan kelainan pembuluh da­rah. Sementara secara vital, pasien ini juga belum tentu sembuh total, dubia ad bonam. Karena tata laksana konservatif hipertensi dan DIC telah dijalankan, se­dang menunggu hasil, mudah-mudahan ia bisa hidup normal tanpa cacat jika kedua­nya dihilangkan. Adapun kekambuhan, sta­­tusnya bisa dikatakan dubia ad malam karena telah banyak penelitian yang me­nyatakan bahwa preeklamsia, terutama yang berat, menjadi faktor risiko hipertensi menetap pada beberapa tahun kemudian. Ditambah adanya kemungkinan pe­nya­kit lain yang belum terdeteksi, ke­mung­kinan hipertensi akan terjadi kembali meskipun bukan bermanifestasi sebagai preeklamsia.
Jangan sampai terulang
Pasien pada kasus ini mengalami sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver func­tion, and Low Platelet count) sebagai komplikasi dari preeklamsia berat. Telah ditatalaksana dengan manajemen kon­ser­vatif untuk kontrol tekanan darah ser­ta telah dilakukan terminasi pervaginam atas induksi mekanik dan kimiawi. Ke­jadian menjadi serius karena justru terjadi DIC pascapartus, membuktikan bahwa disfungsi endotel terus berlangsung, ada kemungkinan akibat penyakit metabolik atau defek pembuluh darah yang tidak terdeteksi. Empat hari pascapartus hi­per­tensi masih tidak terkontrol (160/100 mmHg) sehingga diduga terdapat penya­kit lain yang harus ditelusuri lebih lanjut. Bisa jadi terdapat penyakit ginjal, kegagalan sirkulasi jantung, atau hipertensi primer dengan kausa yang belum ditemu­kan hingga sekarang. Saat ini terus di­la­kukan terapi kontrol tekanan darah disertai eksplorasi kemungkinan penyakit me­ta­bolik, sistemik, atau mungkin penyakit kronis yang belum terdeteksi. Mana­je­men dilakukan secara suportif, jika hi­per­tensi terus muncul tanpa diketahui kausa­nya, kemungkinan adanya hipertensi menetap, diduga sebagai imbas dari preeklamsia yang pertama. Ia menjadi bukti masih rendahnya kualitas penanganan ibu hamil dengan hipertensi di pelbagai rumah sakit di Indonesia. Dengan mendukung program pemerintah untuk me­nurunkan AKI, diharapkan komplikasi berat seperti pada pasien di atas dapat diminimalisasi kejadiannya.

Baca Selengkapnya »»